Jumat, 29 April 2011

Formalisasi syariat Islam

FORMALISASI SYARIAT ISLAM DI ERA DEMOKRASI:
TANTANGAN DAN PELUANG

1.Pengantar
Mendakwahkan dan menegakkan Dinul Islam adalah kewajiban atas seluruh umat Islam. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya dan kaum Muslimin agar mendakwahkan Dinul Islam dan selanjutnya menegakkannya melalui dakwah dan jihad. Dakwah adalah kegiatan yang dilaksanakan jama’ah Muslim (lembaga-lembaga dakwah) untuk mengajak umat manusia masuk ke dalam jalan Allah (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan sehingga Islam terwujud dalam kehidupan fardiyah, usrah, jama’ah dan ummah sampai terwujudnya tatanan khaira ummah. Dengan demikian besaran dakwah ialah sebuah proses menebarkan seluruh isi Qur’an kepada manusia (dan alam semesta) dalam konteks mengantarkan manusia kepada tatanan hidup dan kehidupan yang Qur’ani.
Al-Qur’an adalah kitab dakwah ini. Agar kita dapat memperoleh energi Al-Qur’an, mengetahui hakikat gelora yang tersembunyi di dalamnya, dan mendapatkan nasihat yang tersimpan untuk umat Islam di setiap generasi, sepatutnya kita menghadirkan di dalam visi kita tentang eksistensi generasi Islam pertama yang menjadi obyek sasaran Al-Qur’an untuk pertama kali. Generasi awal Islam tersebut dengan karunia Alloh telah berhasil mendirikan sebuah negara di Yatsrib yang kemudiaan dikenal sebagai negara Madinah dengan konstitusi Madinahnya.
Jika dakwah Rasulullah saw. dahulu hanya sekadar mengajarkan pembersihan jiwa kepada kaum Quraisy, atau mengajarkan praktik ibadah formal, niscaya tidak akan ditentang oleh Abu Lahab, Abu Jahal, dan sekutu-sekutunya. Namun, karena dakwah yang dibawa Nabi saw. itu mengandung makna perombakan tatanan, penghancuran ideologi jahiliyah, dan membangun sistem baru, kafir Quraisy akhirnya mati-matian menghadang dakwah itu. Perlu disadari bahwa hal ini tidak hanya berlaku untuk seorang Nabi Muhammad saw. saja, tetapi juga dipastikan berlaku bagi setiap orang yang mengikuti jejaknya. Rupa-rupanya antara dakwah dan tantangannya sudah senyawa.
Sejak masuknya Islam ke negeri ini pada akhir abad pertama atau awal abad kedua, syariat telah menjadi jalan hidup bangsa Indonesia yang beragama Islam. Syariat Islam sebagai sistem hukum yang menghendaki kekuasaan negara kemudian dilaksanakan oleh kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di berbagai pelosok Nusantara. Akhirnya lahir pandangan hidup suku-suku bangsa dengan makna yang sama dan ungkapan mungkin berbeda bahwa “Adat bersendi syara’, dan syara’ bersendi Kitabullah”. Dengan demikian, syariat Islam memang mempunyai dasar yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Serbuan kolonialisme, baik di seluruh dunia Islam maupun secara khusus di kepulauan Nusantara, dengan kepentingannya untuk melucuti peran sosial-politik Islam, membawa gangguan pada sistem religio-politik tradisional. Upaya untuk menghalau Islam dari ruang publik berarti penolakan terhadap premis-premis orisinal dari sistem politik yang berbasis keagamaan. Gangguan dan keterputusan peran politik keagamaan ini merupakan awal dari sekularisasi politik.
Trayek sekularisasi dalam jurusan ini terus dilanjutkan oleh rezim-rezim pemerintahan pascakolonial. Hal ini utamanya disebabkan oleh watak elit politik negeri ini, yang hingga belum lama berselang tidak pernah menunjukkan komitmen yang terbuka terhadap Islam. Sebagian besar dari generasi pertama elit politik berpendidikan tinggi dan perwira militer berasal dari lingkungan priyayi yang ter-Barat-kan atau dari latar Protestan, Katolik, dan sinkretik (abangan) dalam orientasi keagamaannya. Minoritas elit terhormat ini, karena eksposnya yang tinggi terhadap ide-ide Barat dan permusuhannya yang panjang terhadap elit-elit berorientasi Islam, cenderung mempertahankan afiliasinya dengan politik yang berorientasi sekular dalam oposisinya terhadap ide negara Islam.
Menurut catatan Fuad Amsyari bahwa setelah masa kemerdekaan terselesaikan lalu terjadi kemelut khususnya menyangkut ideologi mana yang dijadikan acuan untuk mengisi kemerdekaan itu. Karena mayoritas bangsa pada saat kemerdekaan diperkirakan masih 95% lebih adalah muslim maka kemelut itupun banyak berasal dari kalangan muslim sendiri, khususnya pertentangan antara golongan umat yang berbeda pemahaman Islamnya oleh pengaruh non-Islam ke dunia pemikiran Islam. Proses ini nampaknya terus berjalan hingga sekarang.
Tulisan sederhana ini akan memaparkan perjalanan panjang perjuangan umat Islam untuk memasukkkan syariat Islam kedalam konstitusi dan undang-undang Indonesia, tantangan yang dihadapi oleh sejumlah Muslim yang akan menetapkan syariat Islam melalui institusi negara dan sejauh mana peluang yang diberikan oleh iklim demokrasi yang ada di Indonesia yang bisa dimanfaatkan oleh Muslim untuk menggolkan usaha penegakkan syariat Islam dalam lingkup negara itu.
II. Perjuangan Memasukkan Syariat Islam Kedalam Konstitusi dan Undang-Undang
Indonesia
Dalam bagian ini tentu tidak dapat dilupakan mengenai Piagam Jakarta. Piagam dalam bahasa Indonesia antara lain berarti surat resmi yang berisikan pernyataan dan peneguhan atau ikrar mengenai suatu hal. Piagam Jakarta adalah sebuah surat resmi yang disepakati oleh wakil-wakil bangsa Indonesia yang duduk dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Karena ditandatangani di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, maka ikrar tersebut dikenal dengan nama Piagam Jakarta.
Adapun panitia kecil yang menyetujui Piagam Jakarta adalah : Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Soebarjo, Maramis, Muzakkir, Wahid Hasyim, Soekarno, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim. Dan rumusan Piagam Jakarta secara lengkap adalah sebagai berikut : “Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Alloh Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannnya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan, dengan kewaiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Piagam Jakarta adalah jalan tengah yang dipilih oleh para pendiri bangsa terhadap dua aliran besar yang berakar dalam sejarah Indonesia, apakah Indonesia akan berdasarkan Islam atau kebangsaan. Penelitian tesis almarhum Endang Saifuddin Anshari di McGill University (Kanada) pada tahun 1976 menyebut Piagam Jakarta sebagai a gentleman agreement (perjanjian antara sesama lelaki yang jantan), yaitu unsur-unsur islamis dan nasionalis. Seperti dituturkan oleh Moh. Room, kelompok nasionalis di sini bukan berarti bahwa mereka anti Islam dan tidak beragama Islam, dan kelompok islamis tidak berarti tidak berjiwa kebangsaan. Kedua kelompok adalah sama-sama bersemangat nasionalis dan umumnya beragama Islam, tetapi kelompok nasionalis lebih tertarik untuk menjadikan kebangsaan sebagai dasar negara daripada Islam. Banyak faktor yang membuat kelompok nasionalis berpendirian demikian, salah satunya adalah pengetahuan mereka yang minim tentang Islam politik dan informasi bias yang mereka terima melalui literatur berbahasa Belanda dan Eropa yang tidak diimbangi dengan literatur Islam yang benar.
Kedudukan Piagam Jakarta dalam konstitusi negara RI (UUD 1945) sudah amat jelas. Secara historis, Piagam Jakarta adalah produk kompromis antara berbagai aspirasi ideologi di Indonesia. Secara yuridis, Piagam Jakarta juga telah berlaku dan menjadi sumber hukum sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Karena itu, masalah pelaksanaan syariat Islam di Indonesia secara hukum juga sudah merupakan barang yang legal dan sah yang seharusnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi menyangkut hukum-hukum yang memang sangat khas bagi orang Muslim, seperti hukum perkawinan, hukum waris, hukum wakaf, hukum zakat, hukum haji, hukum makanan halal, dan sebagainya.

III. Tantangan Bagi Usaha Formalisasi Syariat Islam
Tidak ada perjuangan yang sukses dan mulus. Hebatnya tantangan berarti menunjukkan benarnya arah perjuangan. Demikian juga dalam usaha formalisasi syariat Islam tersebut. Baik berupa paham-paham yang berasal dari Barat maupun dari lokal. Seperti sekularisme, liberalisme, dan nativisme. Dan tantangan struktural yang cenderung masih didominasi oleh kalangan sekular. Serta opini publik yang terbentuk melalui media massa yang tidak memihak kepada usaha penerapan syariat Islam.
Sekularisme adalah suatu paham atau aliran dalam kehidupan yang memisahkan agama/wahyu dari kehidupan duniawi. Jelasnya nilai-nilai agama/wahyu tidak boleh dibawa-bawa untuk diperankan dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan masyarakat dan negara. Karena menurut pikiran orang-orang sekular, agama hanya urusan individu dengan Tuhannya. Sedang persoalan bermasyarakat dan bernegara urusan bersama dari seluruh anggota masyarakat dan warga negara. Selanjutnya, sekularisme menurut M. Natsir adalah paham yang memandang kehidupan manusia ini terbagi menjadi dua “kotak”: kotak dunia dan kotak spiritual, dan agama mestinya hanya berhak mengatur kotak spiritual.
Masih menurut Yudi Latif bahwa proses pemisahan agama dan politik di Indonesia, tidaklah persis seperti apa yang terjadi di banyak negara-negara Barat. Sekularisme dalam konteks Indonesia tidaklah berarti inkonsistensi dengan apresiasi terhadap Islam sebagai warisan budaya, dan bahkan boleh jadi menempatkan budaya ini sebagai komponen yang diperlukan bagi pembentukan identitas politik nasional. Rezim-rezim pemerintahan Indonesia telah mendukung sekaligus mengontrol pengajaran dan institusi keagamaan pada tingkat yang luas. Setiap pemerintahan telah juga memainkan peran signifikan dalam proses pembaruan Islam. Apa yang menyifati semuanya ini sebagai ekspresi sekular lebih karena subordinasi Islam terhadap ide dan kepentingan kebangsaan.
Selanjutnya tentang liberalisme seperti yang dikatakan oleh Syamsuddin Arif adalah sebuah paham yang mencakup tiga hal. Pertama, kebebasan berpikir tanpa batas atau free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran atau sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion).
Di kalangan orang Barat berangkat dari kebebasan inilah mereka lepaskan kontak dengan Allah dalam mengumbar nafsu. Makan minum barang haram bebas. Pergaulan laki-laki dan perempuan bebas. Homosex dan lesbian bebas. Perjudian dan barang riba bebas. Jadi berbagai ketentuan wahyu dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara dibuat menjadi bebas.Mereka sudah tidak berpikir lagi tentang kelanjutan hidup di alam akhirat. Begitulah konsep kebebasan yang dijadikan dasar kehidupan dalam budaya Barat.
Pada zaman modern ini, banyak kaum terpelajar kita yang terkagum-kagum dengan pemikiran yang datang dari Barat untuk menggantikan Islam. Jika ditelusuri, diketahui bahwa hal itu berawal sejak masuknya penjajah Barat ke negara-negara Muslim. Imperialis Barat tidak hanya merampas kekayaan alam negara-negara Muslim, tetapi juga merampas akidah, mencuci otak, menghapus identitas, dan menghilangkan rasa kebanggaan pada jati diri mereka. Untuk kalangan tertentu, program imperialis itu boleh dibilang berhasil. Pasalnya, mereka betul-betul membeo dan mengekor ke Barat, tidak hanya dalam hal teknologi yang masih bisa ditolerir, tetapi sampai ke pemikiran, opini, paradigma, bahkan sampai budaya, berupa cara berpakaian, cara makan, dansa, musik, dan sejenisnya.
Dalam tataran pemikiran, ada sekelompok cendekiawan yang gigih menyebarkan paham-paham Barat melalui buku, tulisan di media massa, serta diskusi dan ceramah di kampus. Bahasa yang mereka gunakan biasanya bahasa-bahasa yang memukau dan menjanjikan sesuatu yang baru nan indah. Target mereka adalah umat Islam keluar dari keislamannya sebagaimana Barat meninggalkan agamanya. Mereka sering merelatifkan pendapat ulama (ijtihad). Apa saja pendapat ulama yang tidak sesuai dengan selera mereka atau selera masa kini, langsung mereka vonis bahwa itu hanya sekadar pendapat ulama terdahulu yang belum tentu relevan untuk diterapkan pada masa kini. Padahal mereka tidak banyak mengetahui tentang Al-Qur’an, tidak mengerti hadits, serta tidak memahami kitab-kitab turats (klasik), tetapi mau mengarungi samudera luas. Akhirnya, merekalah yang tenggelam dalam lautan hawa nafsu dan keangkuhan.
Seperti yang dinyatakan oleh Adian Husaini bahwa hegemoni orientalis Barat dalam studi Islam terbukti telah membawa dampak yang serius dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Berbagai keanehan dan kemungkaran dalam dunia ilmu keislaman telah bermunculan dari tubuh berbagai perguruan tinggi Islam. Tidak sedikit orang-orang yang belajar ilmu-ilmu Islam kemudian justru menjadi penentang Islam yang tangguh dan aktif melakukan dekonstruksi (penghancuran) konsep-konsep dasar Islam. Kemungkaran ilmu bukanlah kemungkaran yang ringan, karena berdampak sangat serius dalam amal perbuatan.
Menurut Fuad Amsyari untuk menyelamatkan umat Islam dan bangsa ini dari arus pembaharuan Islam yang destruktif perlu strategi sebagai berikut :
a. Mengusahakan agar para kyai dan ulama serta sistem pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan IAIN tidak terjerumus pada pengajaran ritual, filsafat, dan kegahiban belaka, apalagi jika sampai berlebihan melewati batas ajaran Alloh sehingga menjadi bid’ah dan syirik. Mereka seharusnya lebih mendalami dan mengajarkan prinsip sosial Islam melalui kajian al-Qur’an, Hadits, dan Kitab Ulama Salaf yang sarat akan prinsip-prinsip sosial itu dan segera bersikap korektif terhadap gejala sosial salah yang tampak di sekitarnya.
b. Mengajak sungguh-sungguh para intelektual dan penguasa/pejabat muslim agar tidak lupa daratan, merasa lebih pandai dan lebih kuasa dari Alloh hanya karena belajar sedikit ilmu pengetahuan dan mendapat sedikit kekuasaan yang dipegangnya lalu berani memakzulkan tuntunan Alloh di bidang pengelolaan sosial. Islam harus kembali dianggap sebagai teknologi membangun manusia, masyarakat, bangsa, dan negar, bukan hanya sekedar ajaran akhlak atau ritual belaka.
c. Seluruh aktivis Islam harus berusaha keras merubah sistem sosial mereka menjadi sistem sosial yang Islami sesuai dengan tuntunan Alloh. Jangan hendaknya aktifitas Islamnya hanya sebatas ingin merubah orang per orang. Teknologi merubah masyarakat atau sistem sosial harus secepatnya dikuasai dan ditrampilkan, khususnya dalam tiga hal yang penting, yakni: 1). Ketrampilan untuk mengganti pimpinan suatu kelompok sosial dari pimpinan yang tidak berorientasi pada Islam menjadi pimpinan yang memahami dan berhak pada tuntunan Islam, 2). Kemampuan dan ketrampilan aktivis Islam merubah kebijakan sosial dan perundang-undangan yang menyalahi prinsip Islam menjadi kebijakan dan perundang-undangan yang selaras dengan tuntunan Alloh di bidang pengelolaan sosial; dan 3). Kemampuan dan ketrampilan untuk merubah budaya yang melanda masyarakat dari budaya syetan menjadi budaya yang sesuai dengan tuntunan Alloh.
d. Menyadarkan para ‘pembaharu’ yang membawa pada pengaburan makna Islam dan merelatifkan isi ajaran Islam itu untuk kembali pada ajaran Islam yang baku sesuai dengan pemahaman jumhur ulama. Hendaknya mereka tidak mudah putus asa oleh sedikit tekanan pihak yang tidak mengerti Islam atau memusuhi Islam dengan cepat-cepat memberi makna lain tentang Islam. Bila mereka tetap teguh dengan ajaran Islam yang benar dan mau bersatu bersama teman-teman seperjuangannya yang lain insya Alloh mereka akan berhasil menjadi pemimpin Islam yang dihormati dihargai umat dan sekaligus akan menjadi pemimpin bangsanya pada masa pasca modern.
Peningkatan jumlah kasus aborsi di kalangan pelajar dan mahasiswa yang mengemuka, maraknya hamil di luar nikah, dan kumpul kebo adalah bukti-bukti dari maraknya kehidupan yang permisif. Memang ada kecenderungan di kalangan masyarakat negeri ini bahwa praktik perzinahan merupakan hal yang dianggap biasa. Di tambah secara juridis, seperti pendapat Adian Husaini bahwa bangsa ini masih lebih senang menjadi antek kolonial Belanda, yang menyebutkan bahwa hanya mereka yang terikat dengan perkawinan yang bisa disebut sebagai pelaku zina. Hukumannya pun maksimal hanya sembilan bulan. Itu pun hanya merupakan delik aduan, artinya harus ada pengaduan dari pihak suami/istri (pasal 284 KUHP).
Persoalan pokok di bidang sosial-budaya yang dihadapi oleh umat Islam adalah dampak dari masyarakat industrial. Salah satunya ialah dengan munculnya nativisme. Nativisme adalah kepercayaan dan anutan-anutan yang dianggap berasal dari nenek moyang yang dilestarikan secara turun temurun. Pada dasarnya nativisme timbul dari kepercayaan yang dikenal sebagai “warisan nenek moyang” dan kesederhanaan berfikir, dan bukan dari sifat-sifat tercela yang membuat penganutnya jauh dari cahaya ilahi. Tidak semua warisan nenek moyang itu perlu ditinggalkan, selama tidak bertentangan dengan aqidah Islamiyah.Warisan nenek moyang seperti itu dapat saja dilestarikan. Bahkan dapat dikembangkan secara baik-baik dengan jiwa baru, yakni jiwa Islam.
Terdapat hubungan kepentingan yang erat antara sekularisme dan nativisme. Hal ini terjadi karena gerakan nativisme menawarkan suatu spiritualisme yang sesuai dengan konsepsi spatialisme agama dari cita-cita sekular. Spriritualisme-nativisme sampai batas tertentu mempunyai raison d’etre, berhubung masyarakat industri selalu mempunyai kecenderungan alienasi yang diduganya dapat ditolong oleh spiritualisme yang merupakan terapi psikologis terhadap perasaan tidak aman warga masyarakat industrial.
Terhadap nativisme, Islam mempunyai kepustakaan yang panjang yang mengungkap ketinggian spiritualitas Islam, sehingga secara teoritik sebenarnya ajaran Islam dengan mudah dapat mengatasi persoalan spirituaisme itu. Demikian pula secara empirik, sifat-sifat paguyuban dari nativisme yang rindu pada masyarakat kecil, dan hubungan dekat, misalnya, akan dapat dipenuhi. Justru persoalan yang tersulit dalam menghadapi nativisme adalah masalah kelembagaan. Tetapi karena sudah tersedia sumber daya kelembagaan dan manusia, persoalannya tinggal bagaimana mendekatkan para penganut nativisme pada lembaga-lembaga itu. Perlu diusahakan semacam sarasehan atau pertemuan tatap muka antara mereka dengan penganut tarekat dan ahli-ahli tasawuf. Meskipun pertemuan personal akan lebih penting bagi para penganut nativisme, sebab kebanyakan mereka hidup dalam lingkungan tertutup dan jauh dari sumber bacaan. Jadi mereka lebih percaya pada hubungan personal daripada hubungan impersonal melalui bacaan.
Nativisme kebanyakan didukung oleh keturunan priyayi (aristokrat) yang kemudian menjadi birokrat, yang secara historis pernah mempunyai jarak dengan budaya Islam. Karena jarak sosial antara priyayi dan santri semakin dekat, maka dapat diharapkan bahwa perkemb-angan sejarah sendiri akan cenderung untuk menyusutkan dukungan priyayi birokrat kepada nativisme. Proses yang natural ini akan terjadi sesudah masa generasi yang sekarang berada dalam birokrasi itu berakhir. Proses sejarah ini bisa dipercepat dengan dakwah yang lebih intensif . Gerakan-gerakan kebudayaan yang menuju kearah ini patut dikembangkan, sekalipun tidak mempunyai hubungan langsung dengan dakwah.

IV. Peluang Formalisasi Syariat Islam dalam Iklim Demokrasi di Indonesia
Menurut Daud Rasyid tentang peluang untuk menerapkan syariat Islam, mengharuskan kita untuk memandang peluang itu dari berbagai sudut dan tinjauan. Yakni dari aspek politik, birokrasi, dan kesadaran masyarakat Islam.
Tentang peluang politik dalam usaha formalisasi syariat Islam diuraikan lebih jauh oleh Daud Rasyid bahwa peluang tersebut adalah peluang yang sangat strategis. Dengan adanya kemauan politik, perubahan dengan mudah dapat dilakukan. Akan tetapi, bila kemauan itu tidak ada, perubahan sekecil apa pun terasa sulit untuk dilakukan. Selain kemauan politik, yang cukup menunjang perubahan adalah iklim politik. Iklim politik yang otoriter tidak memungkinkan adanya perubahan, kecuali dengan menggunakan kekerasan (revolusi). Iklim seperti ini pernah dirasakan selama periode kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Kekuaasaan terpusat di tangan satu orang yang bergelar presiden. Suara-suara rakyat yang tidak sejalan dengan kemauan presiden dianggap sebagai penentang yang akan menggulingkan kekuasaan yang sah (subversi).
Selama kepemimpinan Orde Baru, isu syariat tidak lagi muncul kecuali dengan nuansa negatif. Isu Piagam Jakarta digambarkan sebagai momok menakutkan, sehingga semua golongan bangsa sama-sama mengantisipasinya untuk tidak berlaku. Orang-orang yang bercita-cita hendak mengungkit kembali Piagam Jakarta dianggap sebagai orang-orang yang berbahaya atau lebih populer dengan sebutan “ekstrim kanan”. Akhirnya betapapun rakyat Indonesia yang Muslim ingin menerapkan syariat Islam, hal tersebut selalu mengalami jalan buntu.
Peluang berikutnya adalah dari kalangan birokrasi. Jabatan-jabatan strategis itu baru terbuka untuk para aktivis Islam sesudah terjadi reformasi. Padahal sebelumnya, para aktivis Islam itu hanya berada dalam posisi pinggiran dan tidak setrategis. Bahkan, sering-sering gara-gara keaktifan mereka dalam kegiatan-kegiatan Islam, mereka kehilangan posisi.
Oleh karena itu sekarang tinggal bagaimana para tokoh umat Islam itu mampu memanfaatkan posisi yang Alloh amanahkan kepada mereka, terutama untuk merancang penerapan syariat. Dengan memberdayakan sarjana-sarjana syariat dan sarjana-sarjana hukum yang ada di berbagai wilayah, sangat memungkinkan untuk merancang rumusan undang-undang yang bernafaskan Islam di wilayah masing-masing. Paling tidak, pekerjaan besar ini sudah bisa dicicil dari sekarang.
Kemudian yang tidak dapat dianggap kecil adalah tingkat kesadaran masyarakat Islam itu sendiri. Seperti tumbuhnya semangat cinta Islam khususnya kalangan muda dan terpelajar. Kajian dan dakwah Islam sangat marak di hampir seluruh kampus di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini cukup menggembirakan karena potensi yang dimiliki kaum muda dan terpelajar merupakan salah satu syarat penegakkan syariat.
Ada fenomena lain terutama berkaitan dengan tingkat pemahaman keagamaan. Kecenderungan baru itu, justru terjadi di kampus-kampus umum. Misalnya jika bertemu dengan aktivis wanitanya, jangan harap ia mau diajak berjabat tangan. Tidak hanya itu, ketika berbicara dengan lawan jenisnya pun, mereka tidak mau menantang bola mata lawan bicaranya. Juga yang berkembang di kalangan para profesional. Kaum profesional berdasi sudah tidak sungkan lagi berdiskusi tentang masalah-masalah Islam. Bahkan, ada kegiatan pesantren kilat untuk kalangan eksekutif pada bulan-bulan tertentu. Selain itu, ada pula pengajian tetap mereka di kantornya masing-masing.
Dalam catatan Topo Santoso di era otonomi juga muncul aspirasi penegakkan syariat Islam di berbagai daerah. Meski demikian, cakupan dan materi yang diperjuangkan itu berbeda-beda sesuai dengan faktor historis, yuridis, sosiologis, dan konfigurasi politik di masing-masing daerah. Aceh, misalnya, menempati cakupan yang paling luas dibanding daerah lain, sesuai keistimewaan daerah yang dilandasi UU tentang Keistimewaan Aceh dan RUU Nanggroe Aceh Darussalam (RUU NAD) yang telah disetuji oleh DPR.





















V. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan keberadaan Piagam Jakarta secara yuridis maka formalisasi syariat Islam di Indonesia adalah sah secara hukum sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi aspek legalitasnya.
2. Beberapa tantangan terhadap usaha penegakkan syariat dalam lingkup negara adalah berasal dari kalangan sekular yang terbaratkan dan juga para pendukung nativisme.
3. Adapun peluang untuk formalisasi syariat islam terdiri dari peluang politik, birokrasi, dan tingkat kesadaran masyarakat terhadap Islam yang semakin meningkat di berbagai kalangan.





















DAFTAR PUSTAKA
Awwas, Irfan Suryahardi. 2002. Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir. (Yogyakarta: Wihdah Press).
Al-Ghadban, Munir. 1992. Manhaj Haraki. (Jakarta: Robbani Press).
Amsyari, Fuad. 1995. Islam Kaffah: Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Press).
Arif, Syamsuddin. 2008. Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insani Press).
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. 2007. Khittah Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia).
Husnan, Ahmad.tt. Tantangan Penerapan Syariah Islam. (Surakarta: Isy Karima).
Husaini, Adian. 2006. Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. (Jakarta: Gema Insani Press).
____________. 2001. Rajam Dalam Arus Budaya Syahwat. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar).
____________. 2005. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal. (Jakarta: Gema Insani Press).
____________. 2009. Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. (Jakarta: Gema Insani Press).
Ka’bah, Rifyal. 2005. Politik dan Hukum Dalam Al-Qur’an. (Jakarta: Khairul Bayan).
Luth, Thohir. 2005. M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya. (Jakarta: Gema Insani Press).
Latif, Yudi. 2007. Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia. (Yogyakarta: Jalasutra).
Qutb, Sayyid. 2008. Fiqh Pergerakan. (Yogyakarta: Uswah).
Rasyid, Daud. 2006. Reformasi Republik Sakit. (Bandung: Syamil).
___________. 2006. Pembaharuan Dan Orientalisme Dalam Sorotan. (Bandung:Syamil).
Suneth, A. Wahab dan Syafruddin Djosan. 2000. Problematika Dakwah Dalam Era Indonesia Baru. (Jakarta: Bina Rena Pariwara).
Saifuddin Anshari, Endang. 1997. Piagam Jakarta. (Jakarta: Gema Insani Press).
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Gema Insani Press).

Kamis, 28 April 2011

Bersama Bina Insani

Bersama Yayasan Bina Insani Membangun Kembali Peradaban Islam
Oleh: Bambang Purwanto

I.Pendahuluan.

Dakwah merupakan upaya (proses) mewujudkan tatanan kehidupan yang Islami, memfungsikan Al-Qur’an dalam kehidupan secara optimal, atau dengan menafsir surat Al-An’am ayat 153, dakwah itu adalah menciptakan kehidupan (al-hayat) fi dhilalil Qur’an. Tak satu sudutpun dari kehidupan manusia Muslim lepas dari kontrol Qur’an, pengawasan Allah SWT. Dengan demikian besaran dakwah ialah sebuah proses menebarkan seluruh isi Al-Qur’an kepada manusia (dan alam semesta) dalam konteks mengantarkan manusia kepada tatanan hidup dan kehidupan yang Qur’ani.
Dengan memahami dakwah sebagaimana dimuka maka dakwah bukan hanya ajakan untuk membersihkan jiwa dan pelaksanaan upacara-upacara keagamaan semata. Andaikan dakwah Rasulullah saw. dahulu hanya sekadar mengajarkan pembersihan jiwa kepada kaum Quraisy, atau mengajarkan praktik ibadah formal, niscaya tidak akan ditentang oleh Abu Lahab, Abu Jahal, dan sekutu-sekutunya. Namun, karena dakwah yang dibawa Nabi saw. itu mengandung makna perombakan tatanan, penghancuran ideologi jahiliyah, dan membangun sistem baru, kafir Quraisy akhirnya mati-matian menghadang dakwah itu. Mereka bisa menangkap bahwa dakwah baru ini mengancam eksistensi ideologi mereka yang sudah ratusan tahun,mengancam sistem kekuasaan yang sudah mapan, dan mengancam sisi-sisi lainnya. Itulah yang mengakibatkan reaksi yang sangat kuat dari pihak Quraisy. Perlu disadari bahwa hal ini tidak hanya berlaku untuk seorang Nabi Muhammad saw. saja, tetapi juga dipastikan berlaku bagi setiap orang yang mengikuti jejaknya.
Penamaan din sebagai Islam dan sebaliknya penamaan Islam sebagai din yang begitu teliti turut membawa pengaruh kepada konsep din yang biasanya diartikan secara sempit sebagai institusi agama. Sejarah membuktikan bahwa bagi agama-agama selain Islam, dan khususnya dalam sejarah peradaban Barat, din itu tetap menduduki ruang sempit pada salah satu aspek dalam kehidupan manusia, tanpa harus mempengaruhi aspek kehidupan yang lain. Maka terjadilah pemisahan yang kentara antara ruang agama dan ruang publik, antara gereja dan politik, antara kehidupan spiritual dan sekular, antara kota Tuhan dan kota dunia dan seterusnya.
Berbeda dengan Islam, Nabi Muhammad saw. yang membawa Din Al-Islam adalah seorang yang berhasil mengharmonikan antara kehidupan beragama dan bernegara. Apabila beliau berhijrah dari Mekah ke kota yang bernama Yatsrib pada tahun 622, kota ini kemudian bertukar nama menjadi Madinah.
Madinah dari segi bahasa adalah kota atau city, tetapi madinah juga adalah tempat yang subur bagi melaksanakan din itu sendiri. Disinilah kaitan antara din dan madinah, yang juga mempunyai akar kata yang sama; dal, alif, dan nun.
Yayasan Bina Insani adalah sebuah lembaga nirlaba yang berjuang untuk membangun kembali peradaban Islam. Ini dapat dilihat dari visi lembaga tersebut yaitu terwujudnya masyarakat madaniah di bawah naungan ridha Allah. Dengan visi tersebut Bina Insani berusaha mewujudkannya melalui pelaksanaan misi, program, dan aksinya. Dalam tulisan ini akan dibahas usaha pembangunan kembali peradaban Islam oleh Yayasan Bina Insani. Apa pengertian peradaban Islam? Apa saja landasannya? Sejauhmana urgensi kelompok seide dalam mewujudkan peradaban tersebut? Apa saja langkah-langkah yang dilakukan untuk membangun Peradaban Islam. Beberapa pertanyaan tersebut akan dijawab dalam uraian berikut.

II. Pengertian Peradaban Islam

Untuk dapat memahami pengertian peradaban Islam dapat merujuk pada beberapa pendapat dari para ahli. Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan pada wahyu yang memproyeksikan sebuah pandangan hidup yang sempurna, yang dipahami, ditafsiri, dijelaskan, dan dipraktikkan sehingga membentuk tradisi intelektual dimana ilmu pengetahuan religius dan rasional diintegrasikan dalam bangunan ilmu yang mengandung nilai-nilai dan konsep-konsep yang berguna bagi pembentukan kehidupan yang aman, tenteram, dan damai.
Pendapat lain dari Kuntowijoyo bahwa peradaban Islam yang disebutnya sebagai peradaban tauhid adalah peradaban yang bersandar pada ketentuan-ketentuan Allah untuk hal-hal yang primer menyangkut soal akidah, ibadah, syariat, dan akhlak. Selebihnya, ada kebebasan penuh bagi kreativitas manusia untuk hal-hal yang sifatnya sekunder, seperti urusan teknis, struktural politik, dan masalah kebudayaan. Soal kebudayaan, batasnya ialah akhlak al-karimah.
Menurut Cahyadi Takariawan peradaban Islam disebutnya sebagai peradaban makrifat. Pengertiannya adalah peradaban orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan pemahaman yang benar dari sumber yang benar. Peradaban orang-orang yang mengenal Allah (ma’rifatullah) dan mengenal Rasulullah (ma’rifaturrasul). Sebuah peradaban dari masyarakat beriman, yang menjadikan keimanan sebagai landasan hidup sehari-hari.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian peradaban Islam dimuka maka dapat disimpulkan bahwa peradaban Islam adalah sebuah peradaban yang bersumber dari wahyu Allah. Untuk lebih jelasnya maka dapat dibandingkan misalnya dengan pengertian peradaban Barat. Menurut Naquib al-Attas bahwa peradaban Barat adalah peradaban yang dibangun atas unsur-unsur budaya, filsafat, dan nilai-nilai Yunani dan Romawi kuno, Judaisme, Kristen, dan tradisi sejumlah bangsa Eropa. Masih menurut Naquib al-Attas bahwa peradaban Barat adalah sebuah peradaban yang memiliki sifat-sifat asasi :
1. Berdasarkan falsafah dan bukan agama
2. Falsafah yang menjelmakan sifatnya sebgai humanisme, mengikrarkan faham penduaan (dualisme) yang mutlak dan bukan kesatuan sebagai nilai serta kebenaran hakikat semesta,dan
3. Kebudayaan Barat juga berdasarkan pandangan hidup yang tragik. Yakni, mereka menerima pengalaman ‘kesengsaraan hidup’ sebagai suatu kepercayaan yang mutlak yang mempengaruhi peranan manusia dalam dunia.
Dengan memahami hakikat peradaban Barat yang tidak berdasarkan agama dan hanya berdasarkan spekulasi semacam itu, al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Dari sini pula dapat dipahami mengapa menurut al-Attas antara peradaban Barat dan peradaban Islam yang terjadi adalah satu kondisi yang disebut “permanent confrontation” (konfrontasi permanen).

III. Landasan Peradaban Islam

Jika mengacu pada pendapat Cahyadi Takariawan bahwa peradaban Islam itu berlandaskan pada ma’rifatullah dan ma’rifatur rasul. Landasan pertama disebutnya sebagai landasan esensial dan landasan kedua disebut dengan landasan operasional. Dalam kaitan ini amat penting direnungkan pendapat Abul Hasan Ali An-Nadwi bahwa dunia akan rusak dilanda kebobrokan moral dan kebiadaban, ketika umat Islam mengalami kemunduran. Dan tidak ada sebab-sebab yang lebih utama dari kemunduran umat Islam itu selain dari tidak tertanamnya jiwa tauhid dalam diri seorang muslim. Tidak dipahaminya La ilaha illallah dengan benar; inilah yang membuat kaum muslimin hilang kewibawaannya.
Sesungguhnya makrifat merupakan tangga pertama keimanan. Di atas makrifat itu justru harus ditegakkan syariat. Makrifat adalah pengetahuan, pengenalan, dan pemahaman. Dia merupakan kunci untuk bisa mengimani Allah secara benar dan sempurna. Dengan demikian, makrifat bukan lawan dari syariat, sebagaimana dipersepsikan oleh sebagian masyarakat kita.
Manusia sebagai makhluk tidak dapat mengenal Allah secara langsung, namun bisa mengenal melalui apa-apa yang Allah sampaikan kepada manusia, baik berupa hasil perbuatan Allah (af’al)-Nya yang disebut ayat kauniyah maupun hasil dari penuturan-Nya yang dikenal sebagai ayat qauliyah. Ayat-ayat kauniyah berupa alam semesta dengan segala macam isi dan fenomenanya adalah bentuk pewartaan keberadaan Allah.
Keyakinan akan keesaan Allah sering disebut sebagai tauhid. Ulama membagi tauhidullah menjadi tiga pembahasan, yakni tauhid rububiyah, tauhid asma’ wa sifat, dan tauhid uluhiyah. Pembagian ini mencerminkan af’al (perbuatan) dan sifat Allah. Af’al dalam hal rububiyah (rububiyatullah) yang didalamnya terkandung pengertian tentang sifat kekuasaan Allah sebagai malik (mulkiyatullah) dan keyakinan akan kekuasaan Allah sebagai ilah (uluhiyatullah).
Kata rububiyah berasal dari akar rabb, yaitu Dzat yang menghidupkan, mematikan, menciptakan, memberi rizki, mengolah, mengatuir, dan menguasai alam semesta. Tauhid rububiyah menunjukkan sebuah keyakinan terhadap keesaan Allah, bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang melakukan perbatan (af’al) tersebut.
Fenomena kealaman secara keseluruhan menjelaskan tentang hakikat rububiyah. Fenomena mekarnya bunga, tanaman yang hidup, tumbuh, membesar, berbunga, dan berbuah; memancarnya air dari dalam tanah, mengalir melalui sungai-sungai, menyatu di lautan, menguap, menjadi awan dan turun lagi ke tanah setelah ditiup angin, adalah fenomena rububiyah.
Namun, keyakinan ini tidak cukup hingga di sini, sebab hakikatnya, orang-orang musyrik jahiliah juga meyakini rububiyatullah ini sebagai keyakinan turun-temurun sejak dulu. Seperti yang dicatat dalam beberapa ayat al-Qur’an antara lain dalam : Surat Yunus ayat 31, Surat Luqman ayat 25, Surat Al-Ankabut ayat 63, dan Surat Al-Mu’minun ayat 84-87.
Demikianlah, orang musyrik itu memiliki keyakinan rububiyatullah. Karenanya, untuk menjadi seorang mukmin harus dilanjutkan pada keyakinan mulkiyatullah.
Kata mulkiyah berasal dari akar mulk. Dari akar kata itu pula terbentuk kata malik. Tauhid mulkiyah berarti sebuah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang menguasai alam semesta ini, dengan penuh hak penetapan peraturan atas kehidupan. Tidak ada sekutu dalam kekuasaan Allah di alam semesta ini.
Dengan sifat rububiyah-Nya, Allah berhak menentukan apa saja untuk makhluknya. Sebagai malik (Yang Memiliki), Allah adalah raja atau penguasa. Raja menjadi berfungsi sebagai penguasa manakala ia adalah pemimpin yang dipatuhi. Allah menjelaskan sifat-Nya sebagai pemimpin (Al-Waliy) absolut alam semesta, sebagaimana antara lain terungkap dalam Surat al-Isra ayat 111.
Pemimpin dikatakan baru bertindak sebagai pemimpin jika aturan yang dibuatnya dipatuhi dan diamalkan. Allah adalah Al-Hakim (yang menentukan aturan hidup manusia), seperti dinyatakan dalam Surat Al-An’am ayat 57.
Kalau setiap orang telah paham dan beriman tentang sifat Allah sebagai Al-Waliy (pemimpin) dan Al-Hakim (pembuat peraturan), maka setiap apapun yang dilakukan oleh hamba harus diselesaikan dengan kehendak dan aturan-Nya. Oleh karenanya, Allah harus menjadi tujuan kehidupan, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-An’am ayat 162-163.
Demikianlah keyakinan mulkiyatullah ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah. Sebagai bukti pengakuan oramng mukmin bahwa Allah adalah Tuhan dan Malik, maka ia akan tunduk dan sujud kepada Allah dalam seluruh dimensi kehidupannya. Allah satu-satunya yang ia sembah, ia cintai, ia ikuti seluruh perintah-Nya, dan ia tinggalkan seluruh larangan-Nya. Inilah ujung dari tauhid rububiyah dan tauhid mulkiyah, yakni tauhid uluhiyah.
Uluhiyah atau ilahiyah berasal dari kata ilah. Dalam bahasa Arab, kata ilah memiliki akar kata a-la-ha yang memiliki arti antara lain: tyenteram, tenang, lindungan, cinta, dan sembah. Semua makna ini sesuai dengan sifat-sifat dan kekhususan Dzat Allah. Seperti yang dimuat antara lain dalam Surat Ar-Ra’d ayat 28.
Di antara makna ilah yang paling asasi adalah makna ‘abada yang mempunyai beberapa arti, antara lain hamba sahaya (‘abdun, patuh, dan tunduk (‘ibadah), yang mulia dan agung (al-ma’bud) , serta selalu mengikutinya (‘abada bihi). Jika arti kata-kata ini diurutkan, maka akan menjadi susunan pengertian yang sangat logis, yakni jika seseorang memperhambakan diri terhadap sesuatu, maka ia akan mengikuti, memuliakan, mengagungkan, mematuhi, dan tunduk padanya serta bersedia mengorbankan kemerdekaan yang dimiliki.
Oleh karena itu, pengertian kalimat La ilaha illallah telah mencakup keselruhan af’al dan sifat Allah. Jika diperinci, maka kalimat tauhid itu mengandung makna: tiada pencipta selain Allah, tiada pemberi rizki selain Allah, tiada penguasa selain Allah, tiada pemimpin selain Allah, tiada hakim selain Allah, dan tiada sesembahan selain Allah.
Asma’ adalah jamak dari kata ismun, yaitu nama-nama. Dengan demikian, tauhid asma’ wa shifat berarti keyakinan bahwa Allah adalah esa dalam nama[-nama dan sifat-sifat-Nya. Kita diperintahkan untuk menerima dan mengimani nama serta sifat Allah sebagaimana yang disampaikan sendiri oleh Allah di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, apa adanya, tanpa menambah, mengurangi, menolak, mentakwilkan, dan mengandaikan/permisalan.
Persaksian La ilaha illallah tidak akan dapat diwujudkan secara benar dalam kehidupan, jika tidak mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Rasulullah. Oleh karana itu persaksian dan keimanan terhadap klerasulan Nabi Muhammad saw. dijadikan salah satu dari dua kalimat syahadat, yang menjadi pintu gerbang seseorang untuk memasuki agama Islam.
Rasulullah saw. adalah contoh bteladan yang utama dalam kehidupan Muslim, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 21.
Keteladanan yang diberikan Rasulullah saw. ini bersifat total. Baik terkait soal ibadah maupun muamalah.Demikianlah dalam kehidupan Muslim, Rasulullah adalah figur utama, satu satunya teladan yang dicintai, ditaati, dan diikuti. Inilah yang dimaksud dengan Tauhidul Uswah.
IV. Urgensi Kelompok Seide
Dalam catatan Hamid Fahmy Zarkasyi dengan mengutip pandangan Ibnu Khaldun tanda wujudnya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibnu Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu umran harus dimulai dari suatu “komunitas kecil”. Dan ketika komunitas itu membesar, akan lahir umran besar.
Masih menurut Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Cairo, dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu umran bagi Ibnu Khaldun di antaranya adalah berkembangnya teknologi, kegiatan ekonomi, tumbuhnya praktik kedokteran, dan kesenian. Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Perlu dicatat, tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium transformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut ashab al-Suffah. Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadis-hadis Nabi dikaji dalam kegiatan belajar-mengajar yang efektif. Yang jelas, Ashab al-Suffah adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam.
Dari pokok-pokok pemikiran di muka mengantarkan betapa urgen adanya kelompok seide dalam kerja besar yang dilakukan oleh Yayasan Bina Insani. Sehingga jika dipetakan siapa saja mereka itu maka disamping para pengurus dan para relawan juga dibutuhkan dukungan dari masyarakat luas. Di sinilah barangkali dapat dipahami betapa strategis adanya lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal dan kerja-kerja dakwah baik dakwah di internal lembaga maupun dakwah ke masyarakat luas.

V. Beberapa Langkah Menuju Peradaban Islam

Menurut Hamid Fahmy Zarkasy bahwa usaha membangun kembali peradaban Islam memerlukan beberapa prasyarat konseptual. Pertama, memahami sejarah jatuh bangunnya peradaban Islam di masa lalu. Kedua, memahami kondisi umat Islam masa kini dan mengidentifikasi masalah atau problematika yang sedang dihadapi umat Islam masa kini. Dan ketiga, sebagai prasyarat bagi poin kedua, adalah memahami kembali konsep-konsep kunci dalam Islam.
Dalam kaitan ini pandangan Naquib al-Attas patut diperhatikan :
“Kini sudah jelas bagi kita kaum Muslimin bahwa akar masalah yang sedang kita hadapi ini sesunguhnya terletak pada masalah di sekitar pengertian ilmu. Akal pikiran kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah. Orang Islam telah terpedaya dan secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan pengertian kebuadayaan Barat. Mereka telah memberi pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai pandangan hidup tersendiri yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya sendiri yang berbeda dari pandangan hidup agama dan kebudayaan lain”.
Apa yang disimpulkan oleh al-Attas adalah benar adanya. Di sini al-Attas sangat menyadari bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan hidup Islam berkaitan sangat erat sekali. Sebab, menurutnya ilmu itu “mempengaruhi sikap hidup manusia”. Jadi kesimpulan di atas bahwa pandangan hidup adalah asas peradaban tentulah benar adanya. Dan tidak salah pula jika disimpulkan bahwa hancurnya peradaban Islam adalah karena hancurnya ilmu pengetahuan Islam.
Dalam kaitan usaha membangun kembali peradaban Islam dengan berbasis konsep ilmu dan pandangan hidup menurut Islam maka Yayasan Bina Insani telah melakukan beberapa langkah. Ini dapat dilihat dalam salah satu misi Bina Insani. Yaitu memberikan layanan dalam dakwah dan pendidikan yang inovatif. Sebagai realisasi dari misi tersebut maka Bina Insani di samping menyelenggarakan pendidikan secara formal maupun non formal juga penyebarluasan pemahaman terhadap para wali murid dan para nasabah BMT Bina Insani tentang konsep ilmu menurut Islam serta materi tentang ma’rifatullah, ma’rifaturrasul, dan ma’rifatul Islam.
Sementara ini memang penyelenggaraan pendidikan formal oleh Bina Insani baru sampai tingkat dasar dan menengah. Menurut al-Attas pembentukan individu yang beradab, secara strategis dapat dimulai dari pendidikan universitas. Namun pendidikan universitas tersebut harus terlebih dahulu diletakkan dan berlandaskan pada interpretasi yang benar terhadap hikmah Ilahiyyah sehingga dapat melahirkan sarjana, ulama, dan pemimpin Muslim yang mempunyai pandangan hidup Islam. Barangkali pendapat al-Attas ini dapat menjadi bahan pemikiran khususnya bagi para pengurus Yayasan Bina Insani dan para relawannya untuk merealisasikan sebuah universitas di masa depan.
Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa penekanan pada pendidikan tinggi merupakan salah satu tradisi dalam Islam dan menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu. Bahkan, target utama dan misi nabi adalah untuk mendidik individu yang dewasa dan bertangung jawab. Penekanan terhadap pendidikan dasar dan menengah sering dikaitkan dengan adanya pengaruh Westernisasi dan modernitas.
Selain itu, universitas juga merupakan tahap akhir dari penyiapan pemimpin-pemimpin masyarakat. Di semua negara, universitas adalah tempat di mana individu-individu yang menonjol menjalani pendidikan dan latihan, guna mengatasi kemiskinan sumber daya alam dan manusia.
Masih menurut salah seorang murid al-Attas tersebut bahwa sebenarnya pendidikan tingkat dasar dan menengah hanyalah persiapan menuju universitas. Betapapun baiknya reformasi pendidikan dasar dan menengah, jika sistem pendidikan tinggi, terutama universitas, tidak direformasi sesuai dengan kerangka epistemologi dan pandangan hidup Islam, ia akan mengalami kegagalan. Dengan menekankan pendidikan tinggi, maka kekurangan-kekurangan yang ada pada pendidikan tingkat rendah dapat diperbaiki.
Dalam pandangan al-Attas bahwa universitas Islam itu mempunyai struktur yang berbeda dengan universitas Barat, mempunyai konsep ilmu yang berbeda dengan apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, mempunyai tujuan dan aspirasi yang berbeda dengan konsepsi Barat. Tujuan dari pendidikan tinggi dalam Islam adalah untuk membentuk ‘manusia sempurna’ ataupun ‘manusia universal’. Seorang ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan tetapi ia adalah seorang yang universal dalam cara pandangnya dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.
Dengan meminjam istilah Kuntowijoyo maka langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Yayasan Bina Insani selama ini merupakan ikhtiar menjadikan Islam bisa empiris. Artinya berbagai konsep Islam baik terkait dengan ekonomi, politik, sosial dan budaya tetap hanya sebagai seperangkat teori belaka jika tidak ada institusi yang mendukungnya. Sekali lagi dengan tampilnya lembaga-lembaga pendidikan dan keuangan di lingkungan Bina Insani merupakan bukti keseriusan untuk mewujudkan Islam yang empiris itu.

VI. Kesimpulan

Dari uraian di muka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut :
1. Yayasan Bina Insani dengan visi, misi, program dan aksinya merupakan lembaga nirlaba yang berusaha membangun kembali peradaban Islam.
2. Peradaban Islam adalah peradaban yang dibangun oleh ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan oleh pandangan hidup Islam dengan bersumber pada wahyu Allah.
3. Landasan peradaban Islam ialah ma’rifatullah sebagai landasan esensial dan ma’rifatur rasul sebagai landasan operasional.
4. Sebuah keniscayaan adanya kelompok seide dalam usaha pembangunan kembali peradaban Islam oleh Yayasan Bina Insani. Artinya ide tersebut bukan hanya harus diemban oleh para pengurus dan para relawan tetapi harus mendapatkan dukungan dari masyarakat luas.
5. Tampilnya lembaga-lembaga pendidikan dan keuangan Bina Insani merupakan bukti dari Islam yang empiris. Dan adanya lembaga pendidikan tinggi Bina Insani di masa depan hendaknya menjadi agenda besar bagi para pengurus dan para relawannya.

DAFTAR PUSTAKA

Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal. (Jakarta: Gema Insani Press).

Kuntowijoyo. 1994. Dinamika Sejarah umat Islam Indonesia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

__________. 2007. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. (Yogyakarta: Tiara Wacana).

Suneth, A. Wahhab dan Syafaruddin Djossan. 2000. Problematika Dakwah Dalam Era Indonesia Baru. (Jakarta: Bina Rena Pariwara).

Takariawan, Cahyadi. 2003. Dialog Peradaban: Islam Menggugat Materialisme Barat. (Solo: Intermedia).

Zarkasyi, Hamid Fahmy, dkk. 2010. On Islamic Civilization: Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam Yang Sempat Padam. (Semarang: Unissula Press).

Selasa, 26 April 2011

ISLAM PEMBANGKIT GERAKAN NASIONALISME DI INDONESIA

ISLAM PEMBANGKIT GERAKAN NASIONALISME DI INDONESIA
Oleh : Bambang Purwanto
I.Pendahuluan
Ditinjau dari perspektif religio-politik, sejarah Indonesia modern bisa dilukiskan sebagai sejarah ketegangan abadi antara proyek sekularisasi dan islamisasi negara dan masyarakat. Konflik antara kedua arus ini berjalan sedemikian akut, karena proyek sekularisasi di negeri ini pada mulanya bukan merupakan evolusi sosial kaum pribumi yang tumbuh secara alamiah, melainkan hasil rekayasa kaum penjajah sebagai upaya untuk melumpuhkan daya resistensi kekuatan terpenting Bumiputera.
Dalam konteks tersebut, sekularisasi sejak awal telah saling berhadapan dengan islamisasi. Hal ini mengandung implikasi yang sangat penting, karena untuk kurun panjang sejarah pra-kolonial Indonesia, Islam berperan penting sebagai semen perekat yang paling kuat dalam mempersatukan gugus-gugus manusia dari pelbagai latar geografis, bahasa, dan sejarah. Bisa dikatakan, satu-satunya faktor pemersatu yang paling efektif dalam perjuangan nasional untuk kemerdekaan adalah jaringan sentimen kolektif yang bersumber dari solidaritas umat Islam. Basis afirmasi dari nasionalisme religius seperti ini adalah bahwa perbedaan identitas kelompok keagamaan membentuk jurang yang tak terjembatani antara penguasa dan yang dikuasai, bahwa pemerintah Kristen Belanda tidak memiliki hak moral untuk memerintah umat Islam. Karena Islam tampil sebagai elemen dasar nasionalisme Indonesia, setidaknya pada tahap awal perjuangan kebangsaan, dan menjadi agen utama yang memproduksi “bahasa” keresahan dan pemberontakan, bisa dipahami jika kekuatan-kekuatan kolonial memberikan perhatian yang besar pada proyek sekularisasi sebagai upaya untuk mengenyahkan Islam dari ranah politik.
Dalam perspektif yang lain yakni dari kalangan ahli sejarah dikatakan bahwa pada masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 Islam di Indonesia adalah identik dengan kebangsaan. Saat itu orang yang beragama Islam selalu digolongkan kepada penduduk pribumi, apakah orang Melayu, orang Jawa atau yang lain. Di antara orang Batak yang ketika itu kebanyakan terdiri dari orang-orang yang berkepercayaan perbegu, yang meninggalkan agamanya untuk masuk Islam, dikatakan mengubah “kebangsaan” atau “kesukuannya” menjadi Melayu. Demikian pula halnya dengan orang-orang Cina di Sumatera yang masuk Islam; mereka pun disebut menjadi Melayu. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa nasionalisme Indonesia dimulai sebenarnya dengan nasionalisme Islam.
Sebenarnya, sosialisasi istilah nasionalisme pada abad ke-20 M, juga dipelopori pengenalannya terhadap masyarakat Indonesia, oleh Central Sjarikat Indonesia (CSI) dalam National Congres Central Sjarikat Islam Pertama --- 1 e Natico di Bandung pada 17-24 Juni 1916. Di Gedung Concordia atau Gedung Merdeka atau Gedung Konferensi Asia Afrika Bandung, Central Sjarikat Islam menuntut Pemerintahan Sendiri (Zelf Bestuur) atau Indonesia Merdeka.
Dampak dari National Congres Central Sjarikat Islam pertama menjadikan Indische Partij yang didirikan pada 1912 M, tiga tahun kemudian mengubah namanya menjadi National Indische Partij (NIP), 1919 M. National Indische Patij pimpinan Douwes Dekker Danoedirdjo Setiaboedhi di Bandung. Sebelas tahun kemudian, lahirlah Persarikatan Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Boeng Karno di Bandung, 1927 M. Boeng Karno pada 2 Mei 1951 menyatakan, “Terutama sekali Tjokroaminoto guru saja, jang menanamkan pengaruh jang dalam pada djiwa saja jang dahaga”. Ditinjau dari nama awal Perserikatan Nasional Indonesia, dari penyamaan nama “Perserikatan” terbaca betapa kuatnya pengaruh Serikat Islam di masyarakat Indonesia saat itu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasionalisme di Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap imperialisme yang dikembangkan oleh Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol. Kemudian, diikuti oleh penjajah Kerajaan Protestan Belanda dan Inggris. Sedangkan pelopor gerakan perlawanan terhadap imperalisme Barat untuk Indonesia adalah ulama dan santri. Islam di Indonesia adalah simbol perlawanan terhadap penjajah Barat.
Tulisan sederhana ini akan membahas tentang Islam dan nasionalisme di Indonesia. Apa pengertian nasionalisme itu? Bagaimana pendapat kalangan ulama di Indonesia tentang nasionalisme? Mengapa Islam sebagai pembangkit gerakan nasionalisme di Indonesia? Uraian di bawah ini akan berusaha menjawab beberapa persoalan tersebut.
II. Pengertian Nasionalisme
Menurut Rifyal Ka’bah bahwa nasionalisme atau paham kebangsaan dalam bahasa Arab modern disebut qawmiyyah, dari kata qaum yang berarti kinsfolk (karib kerabat), fellow tribe men (orang sesuku), tribe (suku), race (ras), people (orang sebagai kelompok) dan nation (bangsa). Dari asal-usul bahasa Arab ini,bangsa Indonesia mengenal kata kaum dengan pengertian suku bangsa, sanak saudara, keluarga dan golongan.
Kata qaum (bangsa) banyak sekali digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjuk berbagai pengertian di atas. Salah satu pengertian qaum dalam Al-Qur’an adalah masyarakat atau suku bangsa dari mana para nabi dan rasul sepanjang sejarah berasal.Bangsa-bangsa berdiri karena ada hal-hal yang membuat mereka bersatu sebagai kelompok. Persatuan tersebut mungkin karena mereka berasal dari asal usul yang sama, hidup di lingkungan yang sama, mengalami nasib yang sama, atau mempunyai cita-cita yang sama, atau lainnya. Antara lain disebutkan tentang bangsa Nuh, bangsa Luth, bangsa Ibrahim, bangsa Musa, bangsa Yunus, bangsa Hud, bangsa Saleh, bangsa ‘Isa dan lain-lain. Para utusan Alloh ini sebenarnya tidak ingin menggugat-gugat nilai-nilai kelompok yang sudah terbentuk, kecuali hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang luhur, keadilan dan kejujuran. Nilai-nilai positif yang sudah terbangun, mereka teruskan dan nilai-nilai negatif, mereka hentikan.
Bangsa-bangsa dalam Al-Qur’an disebutkan dengan sifat-sifat positif dan negatif. Mengenai sifat-sifat negatif, kitab Alloh ini menyatakan tentang bangsa yang zalim (al-qawm azh-zalimin), bangsa pembangkang (al-qawm al-kafirin), bangsa fasiq (al-qawm al-fasiqin), bangsa penjahat (al-qawm al-mujrimin), bangsa sesat (al-qawm adh-dhalin), bangsa boros (qawmun musrifun), bangsa perugi (al-qawm al-khasirin), bangsa yang tidak paham akan kebenaran (qawmun la yafqhun), bangsa yang tidak mengetahui kebenaran (qawmun la ya’lamun), bangsa tersihir (qawmun mashurun), bangsa keadilan (qawmun ya’dilun), bangsa suka bertengkar (qawmun khasimun), bangsa durhaka (qawmun thaghun), bangsa yang tidak berpikir (qawmun la ya’qilun), bangsa terpecah (qawmun yufraqun), bangsa bermusuhan (qawmun ‘adun), bangsa yang disiksa atau diuji (qawmun yuftanun).
Sebaliknya, Al-Qur’an juga bertutur tentang bangsa beriman (qawmun yu’minun), bangsa yang mendengar (qawmun yasma’un), bangsa yang berpikir (qawmun ya’qilun), bangsa yang berkontlempasi (qawmun yatafakkarun), bangsa yang berguna (qawmun shalihun), bangsa penyembah Alloh (qawmun ‘abidin), bangsa yang bersyukur (qawmun yasykurun), bangsa yang bertaqwa qawmun yattaqun), bangsa yang dicintai Alloh (biqawmin yuhibbuhum wa yuhibbunahu), dan lain-lain.
Sifat-sifat yang baik disebutkan, tentu saja agar bangsa-bangsa mengikutinya, dan sifat-sifat yang buruk disebutkan, agar bangsa-bangsa menghindarinya. Inti ajaran agama adalah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Tujuannya adalah agar bangsa-bangsa berhasil dalam misi membangun peradaban manusia di muka bumi. Inilah salah satu cara pembacaan terhadap kitab Alloh sebagai petunjuk bagi orang yang beriman dan bertaqwa.
Menurut Hamid Enayat dengan mengacu pada sejarah pemikiran politik dinyatakan bahwa istilah nasionalisme kadang-kadang merujuk pada suatu gerakan untuk mengawal kemerdekaan dan kebebasan bangsa terhadap agresi luar, dan kadang-kadang merujuk pula pada penegasan intelektual kemandirian dan identitas bangsa. Dalam catatan pakar politik Iran tersebut dengan mengutip pendapat para pemikir muslim pada abad ke-19 memahami istilah nasionalisme terutama dengan pengertian yang pertama, dan mengidentikkannya dengan patriotisme.
Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada permasalahan dalam Islam tentang kebangsaan selama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang juga diajarkan oleh para nabi dan rasul. Karena manusia dijadikan Allah berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, maka kebangsaan sebenarnya adalah suatu yang alami. Perbedaan suku dan bangsa bukanlah untuk tujuan pertarungan, persaingan tidak sehat dan saling bermusuhan, tetapi untuk mendorong ummat manusia dalam berprestasi, melakukan kebajikan dan usaha mendekatkan diri kepada Alloh (Al-Hujurat : 13).

III. Pendapat Ulama terhadap Nasionalisme di Indonesia
Untuk melihat bagimana pandangan ulama di Indonesia terhadap nasionalisme maka antara lain dapat merujuk pada pendapat H. Agus Salim. Dalam konggres Al-Islam luar biasa pada 24-26 Desember 1924 di Surabaya, H. Agus Salim menguraikan soal khilafah dalam Islam. Diuraikannya bahwa nasionalisme berdasarkan Islam ialah memajukan negeri dan bangsa berdasarkan cita-cita Islam.
Di samping H. Agus Salim terdapat H.O.S. Cokroaminoto yang juga berpendapat tentang nasionalisme. Bahwa Islam sepertujuh bahagian rambut pun tak menghalangi dan merintangi kejadian dan kemajuan nasionalisme ‘yang sejati’, tetapi memajukan dia. Nasionalisme yang dimajukan oleh Islam bukannya nasionalisme yang sempit dan berbahaya, tetapi yang menuntun kepada sosialisme berdasar Islam, yakni sosialisme yang menghendaki persatuan manusia dikuasai oleh Alloh, dengan lantaran hukum-hukum yang sudah dipermaklumkan kepada utusan-Nya Nabi Penutup, Muhammad saw.
Dalam hubungan ini Salim menunjuk pada sikap Nabi Ibrahim yang mencintai tanah airnya dalam rangka pengabdian kepada Alloh, seperti ucapan yang tertera dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 37.
Di samping pandangan-pandangan dari kalangan Syarikat Islam di muka terhadap paham kebangsaan, Persis di Bandung juga mengemukakan pendapatnya melalui dua orang tokohnya yakni A. Hassan dan M. Natsir.
Dalam pandangan A. Hassan bahwa paham kebangsaan itu sama dengan ‘ashobiyah yakni rasa persatuan suku yang sangat mengikat sebelum persatuan Arab di bawah Nabi dan terutama diterapkan pada masa jahiliyah. Ia juga menambahkan bahwa orang Islam di Indonesia, karena mengikuti paham kebangsaan, menjadi terpisah dari orang Islam di bagian lain dunia, sedangkan menurut Qur’an semua Muslimin adalah bersaudara. Hassan berpendirian bahwa orang yang mengambil asas dan hukum lain dari Islam itu, dipandang bukan Islam. Dalam penuturannya dia mengatakan begini :
Islam menyuruh kita bersatu secara Islam dan dengan asas Islam. Islam mewajibkan kita merdeka, bukan lantaran senang atau susah, tetapi untuk menjalankan perintah-perintah Islam dengan sempurna di sekalian perkara, dunia dan akhirat.
Islam tidak mengaku umatnya akan seseorang yang berasas kebangsaan, menolong partai kebangsaan, mengajak orang kepada partai kebangsaan, marah karena kebangsaan, Islam perintah umatnya (bukan umat lain) supaya mengejar kemerdekaan dan mengerjakan apa-apa yang berhubungan dengan itu, semata-mata karena Islam dan atas nama Islam.

Dalam pandangan M. Natsir dengan menelusuri perkembangan nasionalisme itu dari permulaannya dan mengambil kesimpulan tentang nasionalisme tersebut dari pandangan dan pernyataan para pemimpin kalangan kebangsaan. Katanya, bertahun-tahun sebelum pemakaian kata nasionalisme Indonesia, pada waktu berbagai organisasi, seperti Budi Utomo, Pasundan, Jong Sumatranen Bond, dan sebagainya, membatasi keanggotaannya pada suku bangsa bersangkutan masing-masing, pergerakan-pergerakan yang berdasar kepada agama Allah semata-mata, sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan Indonesia. Lebih jauh masih menurut M. Natsir :
Pergerakan Islamlah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan di tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia yang menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mukla-mula menanam persaudaraan dengan kaum yang sama senasib di luar batas Indonesia dengan tali ke-Islaman.

Memproyeksikan perkembangan di masa depan, Natsir bertanya apakah setelah Indonesia merdeka tujuan orang Islam sama dengan tujuan orang nasinalis yang netral agama. Menurutnya :
Tujuan kaum Muslimin mencari kemerdekaan untuk kemerdekaan Islam, supaya berlaku peraturan dan susunan Islam, untuk keselamatan dan keutamaan umat Islam khususnya, dan segala makhluk Allah umumnya.
Adakah ini juga tujuan dan cita-cita mereka itu? Mereka yang dari sekarang sudah menyatakan sikap netral kepada agama, yang dari sekarang sudah meremehkan tak mau campur dalam segala urusan yang berbau Islam.

IV. Beberapa Faktor Penyebab Islam Sebagai Pembangkit Gerakan Nasionalisme
Dalam rentang sejarah Indonesia, Islam telah menyumbang amat banyak, bagi negeri ini. Inventarisasi jasa Islam dilakukan seorang pakar sejarah, Kuntowijoyo dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam. Jasa Islam bagi keberkahan negeri ini, menurut Kuntowijoyo, antara lain :

1. Islam membentuk civic culture (budaya bernegara). Kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di seluruh Indonesia sejak abad ke-13 pasti dipengaruhi oleh tata negara Islam, bukan oleh Hinduisme. Buku tata negara, seperti Tajus Salatin mempunyai pengaruh yang luas ketika itu.
2. Solidaritas nasional, terjadi karena proses pengislaman nusantara sehingga menjadikan seluruh Indonesia sebagai sebuah kesatuan. Jaringan itu terbentuk terutama sesudah ada diaspora Islam pasca Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511 M. Persamaan agama, budaya, dan suku Melayu menjadikan jaringan agama sebagai proto-nasonalisme.
3. Syariat Jihad menjadi motivator satu-satunya untuk meraih kemerdekaan, bebas dari belenggu penjajahan kafir Belanda. Pada 1873-1903 terjadi Perang Aceh menentang penjajah Belanda. Pada tahun-tahun 1945-1949 ideologi jihadlah yang mendorong pembentukan laskar Hizbullah-Sabilillah sebagai tentara resmi melawan penjajah. Perlawanan pada Komunisme, 1965-1966 adalah berkat ideologi jihad.
4. Kontrol sosial di NKRI, tidak hanya dijalankan oleh polisi, hukum, perundangan, dan peraturan, tapi terutama oleh agama Islam. Bayangkan jika tidak ada Islam yang melarang pembunuhan, pencurian, dan perampokan, pastilah orang-orang kaya perlu banyak satpam.

Pada masa kerajaan-kerajaan Islam jaya, para ahli sejarah Belanda mencatat kemakmuran dan kesejahteraan yang tinggi di wilayah nusantara, sehingga mereka mampu membangun angkatan perang untuk mengusir penjajah Portugis dan Belanda dari wilayah mereka. Portugis dan Belanda yang terusir dari Sunda Kelapa dan lari ke Malaka, kemudian dengan sembunyi-sembunyi mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur, seperti Blambangan di Banyuwangi, Jenggala di Kediri, dan Siliwangi di Jawa Barat.
Menurut Ahmad Mansur Suryanegara bahwa nasionalisme di Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap imperialisme yang dikembangkan oleh Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol. Kemudian, diikuti oleh penjajah Kerajaan Protestan Belanda dan Inggris. Sedangkan pelopor gerakan perlawanan terhadap imperialisme Barat untuk Indonesia adalah ulama dan santri.
Masih menurut Ahmad Mansur Suryanegara dengan mengutip pendapat Donald Eugene Smith dalam Religions, Politics, and Social Change in the Third World, menyatakan bahwa ulama memegang peranan penting dalam memimpin perlawanan terhadap imperialis Barat dengan upayanya untuk pengembangan agama katolik dan Protestannya. Akibat imperialis Barat dengan identitas agama itu maka muncullah Islam di Nusantara Indonesia sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah Barat.
Dengan demikian terbaca dari pendapat para sejarawan di muka bahwa keberadaan ulama dan santri dalam perjuangan membangkitkan kesadaran nasional melawan imperialis Barat dengan menjadikan Islam sebagai simbol perjuangan merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan. Sehingga dengan ini pula dapat dipahami paling tidak ada tiga faktor mengapa Islam sebagai pembangkit nasionalisme di Indonesia sebagai berikut :
1.Secara internal, memang dalam ajaran Islam terdapat konsep tauhid sebagai inti ajarannya juga adanya konsep dakwah dan jihad yang dijadikan manhaj perjuangan dari kaum pergerakan Islam dalam menegakkan tauhid itu.
2.Disamping hal tersebut adalah terjadinya konsolidasi di kalangan ulama dan santri untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi para penjajah negeri ini.
3.Secara eksternal, umat Islam bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada tantangan imperialisme.

Meskipun fakta sejarah menunjukkan bahwa pelopor gerakan nasionalisme di Indonesia adalah ulama dan santri anehnya yang diperingati sebagai hari kebangkitan nasional adalah tanggal berdirnya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908. Padahal, sampai dengan Konggres Boedi Oetomo di Solo, 1928 M, menurut A.K. Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Boedi Oetomo tetap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia. Walaupun sampai dengan konggres tersebut, Boedi Utomo sudah berusia 20 tahun, tetap mempertahankan Djawanisme. Melalui medianya Djawi Hisworo, Boedi Oetomo berani menghina Rasulullah saw. Disinilah bisa dipahami pandangan dari Salimuddin tentang perlunya para ulama dan MUI mempertimbangkan kembali keputusan Kabinet Hatta, 1948 M, tentang 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sehingga upaya deislamisasi terhadap penentuan peristiwa nasional dalam penulisan Sejarah Indonesia dapat dihentikan.
IV. Kesimpulan
Dari uraian dimuka dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut :
1.Nasionalisme dapat dipahami sebagai paham kebangsaan dan tidak bertentangan dengan Islam asal sesuai dengan nilai-nilai universal yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul.
2.Di kalangan ulama Indonesia paham tersebut diadaptasikan dengan ajaran Islam sehingga tidak sekular.
3.Islam dapat menjadi pembangkit gerakan nasionalisme di Indonesia disebabkan oleh adanya konsep tauhid sebagai inti ajarannya, dan juga adanya konsep dakwah dan jihad di dalam Islam sebagai manhaj untuk menegakkan tauhid itu, juga adanya konsolidasi oleh ulama dan santri dalam pergerakan Islam untuk melawan musuh-musuh tauhid dengan manhaj dakwah dan jihad, dan secara eksternal karena adanya tantangan dari kaum imperialis kafir.


DAFTAR PUSTAKA
Enayat, Hamid. 1988. Reaksi Politik Sunni dan Syiah : Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad ke-20. (Bandung : Pustaka).
Ka’bah, Rifyal. 2005. Politik dan Hukum Dalam Al-Qur’an. (Jakarta : Khairul Bayan).
Latif, Yudi. 2007. Dialektika Islam : Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di
Indonesia. (Yogyakarta : Jalasutra).
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. (Jakarta : LP3ES).
Salam, Solichin. 1963. Agus Salim Pahlawan Nasional. (Jakarta : Jayamurni).
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2009. Api Sejarah I. (Bandung : Salamadani).

Majalah Risalah Mujahidin, Edisi 11 Th. 1 Sya’ban 1428 H/Agustus 2007 M.

Sabtu, 16 April 2011

Belajar bisnis online

 Manfaatkan internet rumahmu . Jadikan internet sebagai sumber penghasilan tambahan. dengan meng klik link i ni kita bersama akan di tuntun untuk bisa mandiri .
http://www.rahasiawebsitepemula.com/?id=mukharom

Senin, 11 April 2011