Jumat, 25 November 2011

GURU BAGI 1500 ANAK PUTUS SEKOLAH

Lilis Hasanah : Guru Bagi 1500 Anak Putus Sekolah
Posted by admin in Profil on 06 9th, 2010 | no responses


Seorang anak lelaki kecil, sebut saja Adi (4 tahun) tengah menangis di salah satu gang Kota Bandung. Ia merasa nasibnya tak seberuntung teman sebayanya yang bisa sekolah di Taman Kanak-kanak. Ia hanya bisa memandangi keceriaan teman-temannya yang akan berangkat sekolah.

Melihat kesedihan anaknya, sang ibu pun tak kuasa menahan air mata. Sebagai ibu, ia merasa tak mampu memberikan pendidikan yang layak. Tak sengaja situasi itu tertangkap mata oleh Lilis Hasanah, yang tak lain tetangga sang ibu tadi. Lilis lantas mendekat, sambil menanyakan apa gerangan yang terjadi. Mendapat penjelasan sang ibu yang sambil menangis, hati Lilis seolah terpukul.

Lilis bisa merasakan beban yang dirasakan si ibu. Naluri keibuannya tak bisa dibohongi. Ada dorongan kuat untuk ikut membantu. Meski akhirnya ia tak bisa berbuat apa-apa, karena anak-anaknya pun masih membutuhkan biaya sekolah.

Tapi wanita kelahiran Bandung, 27 Juli 1960 ini tak berhenti mencari jalan keluar. Hari-harinya, sarjana pendidikan luar sekolah itu berupaya untuk membantu anak tadi. Ternyata dalam pengamatannya masih banyak anak-anak di lingkungannya yang bernasib sama. Wanita yang juga ketua PKK di lingkungannya ini pun bertekad untuk membuat pendidikan untuk mereka, meski seadanya.

Berbekal sedikit pengetahuan yang ia miliki, Lilis bersama ibu-ibu lainnya membuka Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Teras rumahnya yang sederhana, ia sulap menjadi kelas sederhana. “Tanpa bangku dan meja pun tetap jalan dan tidak mengurangi kecerian anak-anak,” ujar Lilis. Belum lama kelas ini dibuka, sudah 45 anak mendaftar sebagai murid. Walhasil, anak sejumlah itu meramaikan hari-hari Lilis dari mulai pukul 7 pagi hingga 10 siang.

Sekolah itu kini berada di bawah lembaga bernama Komunitas Perempuan Peduli Pendidikan Masyarakat (KANPAS).

KANPAS yang dipimpin Lilis tak hanya menyediakan pendidikan dini anak-anak kurang mampu. Lilis juga berupaya membantu agar taraf hidup mereka menjadi lebih baik, yakni dengan memberikan keterampilan pada para ibu, seperti tata boga dan menjahit. “Mudah-mudahan dengan keterampilan ini mereka bisa membantu para suami mencari nafkah,” kata Lilis.

Menjahit memang salah satu kemahiran yang dimiliki Lilis. Dari kemahiran ini, selain ia bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, ia pun bisa mendapat tambahan uang untuk kebutuhan belajar anak-anak didiknya.

Kian hari ia menggeluti kerja sosial ini ternyata banyak realitas mengenaskan yang ia temukan. Misalnya, banyak anak-anak di lingkungannya yang tidak tamat SD, ibu-ibu yang masih buta aksara, termasuk banyak juga warga yang tidak bisa membaca al-Qur’an.

Bagi Lilis ini adalah tantangan. Ia bertekad tidak akan lari dari masalah ini. Selanjutnya, ia mulai mengumpulkan ibu-ibu tersebut di rumahnya. Ternyata mereka mempunyai semangat belajar. Hingga suatu hari ada yang membuatnya haru sekaligus makin semangat saat seorang ibu berkata, “Bu Lilis sekarang saya bisa baca koran, al-Qur’an, dan bisa membacakan buku cerita untuk anak saya.”

Teman Curhat

Di balik aktivitas Lilis dalam memberikan pendidikan, ternyata banyak cerita menarik dalam menghadapi anak didiknya. “Saya lebih banyak memberi motivasi dan membangun rasa percaya diri mereka untuk terus belajar dan maju,” aku Lilis. Ini pun bukan perkara mudah. Malah ada yang mengatakan, “Sudahlah Bu, biar saya saja yang bodoh dan tidak bisa baca asal jangan anak saya,” kenang Lilis.

Tapi Lilis tidak menyerah. Ia mencari cara agar mereka tetap mau belajar, misalnya dengan berkomunikasi dari hati ke hati. Biasanya mereka pun akan mengungkapkan isi hatinya. Lilis pun menjadi pendengar setia bagi mereka, sambil mencari solusinya.

Jika waktu dan tempat yang menjadi kendala, Lilis pun akan menyediakan sesuai keinginan mereka. Begitu juga kalau ada yang merasa malu. “Ada beberapa ibu yang malu kalau harus belajar bersama dengan yang tidak seumur, biasanya kita kelompokkan,” ujar Lilis.

Selain cara itu, Lilis pun harus pintar mengambil hati mereka. Pernah ada seorang anak remaja dengan anting dan bertato menemuinya. Dalam benaknya terlintas, “Jika ia dibiarkan bagaimana dengan masa depannya.” Betul saja anak remaja itu membuka pembicaraan, ia mengemukakan keinginan untuk belajar mengaji. Ia mengatakan, “Bu, saya ingin seperti orang lain dan tidak mau berada di lingkungan seperti ini. Saya ingin belajar mengaji.”

Ia juga mengajarkan kepada orangtua murid yang anak-anaknya ikut PAUD, tentang bagaimana mendidik anak di rumah. Menurut Lilis, sinergi keluarga dan lembaga pendidikan adalah solusi mencapai tujuan bersama.

Kini, untuk menjalankan programnya, Lilis dibantu oleh 10 orang tutor dan guru. Mereka bekerja secara sukarela. Makanya saat tutor dan guru itu akan bergabung, Lilis tak lupa memberikan nasehat. Katanya, ini kesempatan untuk mengamalkan ilmu. “Namun, jika ingin mencarai kekayaan bukan di sini tempatnya,” kata wanita lulusan IKIP Bandung ini. Syukurnya, selalu ada saja yang menawarkan diri untuk membantu di lembaganya.

Begitu juga bantuan, alhamdulillah untuk membantu operasional lembaga ada donatur yang ikut berpartisipasi. Selain itu, sebuah lembaga zakat nasional juga memberikan bantuan berupa pelatihan kewirausahaan, desain grafis, dan menjahit. Inilah keunikan KANPAS, berbagai keterampilan diajarkan di sini, termasuk belajar nasyid.

Bagi warga yang belajar dan ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, Lilis sudah menjajaki kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi yang bisa menampung warga belajarnya. ”Alhamdulillah, saat ini sudah ada perguruan tinggi yang bersedia,” Lilis bersyukur.

Didukung Suami

Apa yang membuat Lilis bertahan dengan pekerjaan ini? Menurutnya, mereka orang-orang yang bersemangat. Lilis bercerita tentang seorang muridnya yang bekerja sebagai penjual Martabak. Ia bercita-cita menjadi seorang ustadz yang bisa berceramah. Setiap hari, anak yang tadinya pendiam itu menempuh perjalanan 20 km ke rumah Lilis. Kini setelah digali bakatnya, sambil belajar ilmu yang menunjang, akhirnya anak ini mulai berani tampil di depan teman-temannya.

Sang suami, Sudrajat, ikut membantu pekerjaan Lilis. Selepas shalat Shubuh, Sudrajat mengambil koran ke agen besar, lalu menaruh koran-koran di tempat yang sudah ia sediakan. Yang menjaga adalah anak didik Lilis. “Ini salah satu pelajaran kemandirian, agar kelak mereka lebih bisa mandiri dan survive,” ujar Sudrajat.

Kini KANPAS menempati rumah kontrakan di Gang Bakti, Kelurahan Cikutra, Bandung. Syukurnya, tempat tidak menyurutkan niat dan tekad warga didiknya untuk terus maju dan sejajar dengan yang lain. Lilis yang pernah punya keinginan jadi wanita karir ini pun bangga menjalankan ini. Prinsipnya, menjadi ibu rumah tangga adalah karir yang luar biasa mulia dan terhormat jika ia mampu melahirkan generasi yang lebih baik dari sebelumnya. ”Sekarang saya sudah menjadi “orang berada”, maksudnya sering berada di rumah,” kelakar Lilis.

Obsesi Lilis hanya satu; ingin memberikan kontribusi yang lebih besar lagi bagi masyarakat dengan mencerdaskan masyarakat. “Sehingga mereka tidak terus terpuruk lebih lama dalam kebodohan,” harapnya.

Kini, telah ada 1500 anak asuh paket A, B, dan C yang tersebar di Sukabumi, Sumedang, Garut, dan Cianjur yang ditangani Lilis. *Ngadiman/Suara Hidayatullah NOPEMBER 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar